Rabu, 17 Desember 2014

Overloading Penyebab Jalan Rusak dan Resiko Kecelakaan

Membahas tentang kecelelakaan memang tidak ada ujungnya. Banyak kasus kecelakaan yang terjadi dari berbagai kasus dan sebabnya. Dalam UU No.22 Tahun 2009 pasal 48 yang menyatakan bahwa kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan wajib memenuhi persyaratan teknis laik jalan, dan dalam ayat (2) disebutkan kendaraan bermotor yang harus laik jalan itu terdiri atas susunan, perlengkapan, ukuran, karoseri, rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya, pemuatan, penggunaan, penggandengan kendaraan bermotor, dan atau penempelan kendaraan bermotor. Dalam artikel ini saya hanya membahas tentang satu poin dari sekian poin yang harus dipenuhi kendaraan bermotor untuk laik jalan. Poin tersebut yaitu tentang permasalahan pemuatan.
Pantura merupakan jalan kelas I yang mana jalan tersebut boleh dilewati kendaraan bermotor dengan panjang maksimal 18 m, lebar maksimal 2,5 m, dan tinggi maksimal 4,2 m serta dengan maksimal Muatan Sumbu Terberatnya adalah 10 ton. Kenyataan yang ada di lapangan bahwa masih banyak kendaraan bermotor yang melewati jalan pantura melanggar peraturan UU No.22 Tahun 2009 pasal 48 tersebut yang mana berat MST (Muatan Sumbu Terberat) melebihi 10 ton atau biasa disebut dengan overloading yaitu suatu  kondisi  beban gandar kendaraan melebihi beban standar yang digunakan yang dapat menimbulkan kerusakan jalan dan meningkatkan resiko kecelakaan. Masalah tersebut merupakan salah satu contoh masalah yang timbul akibat overloading kendaraan bermotor. Lantas, mengapa hal demikian bisa terjadi? Alasan mengapa mereka melanggar tentang masalah pemuatan karena efisiensi dan efektifitas pengangkutan suatu barang, jadi perusahaan mengangkutnya dalam satu kali perjalanan namun dalam jumlah yang besar atau melebihi kapasitas. Dalam kasus ini perusahaan mengabaikan keselamatan dan resiko yang dapat terjadi yang diakibatkan oleh overloading seperti jalan rusak dan resiko kecelakaan.
Permasalahan mengapa hal tersebut bisa terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Dilihat dari sumber daya manusia pada sektor pengujian maupun pada aparatur di jembatan timabng yang mana kurang tegas dalam memberikan sanksi terhadap mereka yang melanggar akibat overloading dari barang yang mereka muat, bahkan beberapa dari oknum petugas jembatan timbang menerima gratifikasi dari pemilik kendaraan bermotor.

Pemerintah telah menentukan masalah pemuatan suatu kendaraan bermotor yaitu menurut jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) yang mana berat tersebut ditentukan pabrik pembuat kendaran tersebut, dan menurut jumlah berat yang diizinkan (JBI) ditentukan oleh penguji. Yang perlu dibahas dalam hal ini adalah dalam penentuan JBI oleh penguji harus memperhatikan kelas jalan terendah yang dilalui oleh kendaraan tersebut. Selain itu, melaui suatu perhitungan dengan memperhatikan JBB, berat kosong kendaraan bermotor (tanpa pengemudi, penumpang, dan penumpang), jarak sumbu (wheel base), jarak titik berat muatan (q) yang diukur dari sumbu paling depan, jarak antar sumbu depan dengan titik berat ruang tempat duduk pngemudi (p)/ titik berat kabin dan jumlah penumpang. Berikut disajikan tabel tentang ketentuan JBI pada kendaraan bermotor berdasarkan sumbu rodanya.